Selasa, 27 Oktober 2009

Kisruh Century

KISRUH BANK CENTURY :
MUNGKINKAH HAK ANGKET DPR DILAKSANAKAN



Dalam melakukan tugasnya Anggota DPR RI mempunyai hak sebagai berikut: (1) hak Interpelasi, yaitu hak para anggota DPR untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban kepada pemerintah mengenai kebijakannya dalam suatu bidang, (2) hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. dan (3) hak menyatakan pendapat yaitu Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau terhadap dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dalam beberapa hari ini media massa Indonesia banyak menyuarakan tentang hak – hak para wakil rakyat ini, terutama hak angket. Berdasarkan Tata tertib DPR RI pasal 166, hak angket dapat dilaksanakan jika diusulkan paling sedikit 25 orang anggota dan minimal 1 fraksi. Serta pengusulan hak angket harus disertai dengan dokumen yang memuat sekurang – kurangnya : materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang – undang yang diselidiki juga alasan penyelidikan.

Hak angket yang dimaksud terkait dengan rekomendasi DPR RI periode 2004 – 2009 Atas Kasus Bank Century (BC). Dalam rekomendasinya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengindikasikan adanya dugaan tindak pidana dalam kasus BC berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam laporan pertama BPK, audit investigatif kasus tersebut masih menjelaskan hal-hal yang berkisar umum. Artinya baru memberikan ruang lingkup pemeriksaan yang diaudit berkaitan dengan BC, termasuk peranan dari Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK). Menurut Ketua DPR periode 2004 – 2009 Agung Laksono, banyak hal yang berkaitan dengan kasus BC. Bukan hanya masalah manajemen BC, tapi juga Bank Indonesia yang lengah dalam pengawasannya kepada perbankan. Kemudian juga LPS. Hasil audit investigasi sementara BPK telah diteruskan ke Komisi XI DPR untuk diberikan tanggapan atau pandangan, kemudian akan diserahkan kepada DPR periode mendatang sebagai bagian dari memori jabatan.

Dalam sidang paripurna terakhir di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (30/9), DPR merekomendasikan agar kasus BC ditindaklanjuti sebagai kasus pidana oleh aparat hukum. Berdasarkan hasil kesimpulan dan rekomendasi atas audit BPK, Komisi XI DPR menyatakan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dan kesalahan penilaian dari Bank Indonesia terhadap kucuran dana sebesar Rp 6,7 triliun. DPR meminta BPK menyelesaikan hasil audit akhir terhadap kucuran dana ke BC. Bahkan Komisi XI telah meminta BPK dalam laporan finalnya nanti untuk mencantumkan nama-nama yang terlibat dalam kasus ini. Apakah dalam pada akhirnya DPR bisa secara optimalkan menggunakan hak angket dalam kasus BC ?

Mengurai Benang Kusut Bank Century.
Berdasarkan Penyampaian Laporan Kemajuan Pemeriksaan Investigasi BPK yang disampaikan pada komisi XI DPR RI periode 2004 – 2009, kasus bangkrutnya BC disertai pengucuran dana talangan melalui 4 tahap yaitu bulan November 2008 sebesar Rp. 2,2776 Trilyun, Desember 2008 sebesar Rp. 2,201 Trilyun, Februari 2009 sebesar Rp. 1,155 trilyun dan Juli 2009 sebesar Rp. 630, 2 Milyar sehingga jumlah total mencapai Rp 6,7 triliun akan membawa dampak ekonomi politik yang sangat besar ke depan.
Kasus ini berawal dari usaha untuk menyelamatkan bank Pikko dan bank CIC dari pembekuan karena kondisi kedua bank ini tidak sehat, yang kemudian merger dengan bank Danpac. Dalam merger 3 bank ini menjadi BC pada bulan Desember 2004, BI diduga telah memberikan kelonggaran terhadap persyaratan merger, yaitu (1) asset berupa Surat-Surat Berharga (SSB) yang semula dinyatakan macet oleh BI, kemudian dianggap lancar untuk memenuhi proforma Capital Adequacy Ratio (CAR) dalam rangka merger, (2) Pemegang Saham Pengendali (PSP) yang dinyatakan tidak lulus fit and proper test tetap dipertahankan, (3) pengurus bank yaitu komisaris dan direksi bank ditunjuk tanpa melalui fit and proper test dan (4) Laporan Keuangan bank Pikko dan Bank CIC yang dijadikan dasar merger diberikan opini disclaimer oleh kantor Akuntan Publik (KAP).
Dua bulan setelah merger, tepatnya pada tanggal 28 Februari 2005 posisi CAR BC negative 132,5%. Posisi CAR negative ini terutama disebabkan oleh adanya aset SSB sebesar US$ 203 juta yang berkualitas rendah karena sebagian besar masih dikuasai oleh pemegang saham. Seharusnya sesuai dengan ketentuan, BC ditetapkan sebagai bank berstatus dalam pengawasan khusus, tetapi BI hanya menyatakan dalam pengawasan intensif.
Selain itu sejak tahun 2005 s.d 2007 hasil pemeriksaan BI menemukan adanya pelanggaran Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK) dalam kegiatan BC. Dan juga pelanggaran pada posisi Devisa Neto (PDN) yang dilakukan oleh BC sehingga BC dikenakan sanksi denda sebesar Rp. 22 milyar tapi dalam pelaksanaannya BI memberikan keringanan sebesar 50% sehingga BC hanya membayar sanksi denda Rp. 11 milyar.

Kasus ini belum sepenuhnya dibuka ke publik karena diduga banyak melibatkan pejabat pemerintah pada saat itu. Pada kuartal keempat 2008, saat masalah Century meledak. Media banyak mengutip otoritas ekonomi dan keuangan bahwa perbankan Indonesia kuat dan likuiditasnya aman dan normal. Mereka juga begitu optimistisnya dengan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009, hingga mencapai 6,9 persen.
Pada November 2008 sebenarnya sedang terjadi kepanikan dalam otoritas keuangan karena BC dan karena ada perpindahan dana antarbank dalam jumlah besar. Yang sudah diketahui publik, perhitungan Rp 630 miliar ternyata salah besar. Kita bisa bertanya: bila kasus BLBI harganya Rp 600 triliun, mengapa definisi sistemik tahun 2008 harganya hanya Rp 30 triliun?

Dibalik angka 6,7 trilyun memunculkan dugaan kuat logika kebijakan yang keliru dalam proses pengambilan keputusannya. Bank Indonesia (yang kemudian disetujui Menteri Keuangan) berargumen: lebih baik mengeluarkan Rp 630 miliar (atau 4,5 persen dari dana Lembaga Penjaminan Simpanan sebesar Rp 14 triliun) ketimbang harus menghadapi kolapsnya belasan bank kecil dengan kerugian Rp 30 triliun (214 persen dari dana LPS). Kisruh perbankan pada tahun 1998 berbeda dengan kisruh BC. Saat itu kekacauan perbankan disulut oleh bank-run (nasabah menarik deposito), sedangkan pada 2008-2009 akan dicirikan oleh loan-run (sesama bank enggan saling meminjamkan). Dalam hal ini otoritas keuangan melakukan penilaian yang keliru terhadap situasi saat itu. Kegagalan otoritas keuangan dalam memahami secara tepat situasi ekonomi yang antara lain menimbulkan kesalahan dalam pengambilan kebijakan. Ini memberikan nuansa inkompetensi.
Setelah dana talangan. containment procedure seperti apa yang seharusnya dirancang otoritas keuangan? Belajar dari episode BLBI dan dengan mengacu pada international best practices, di atas kertas otoritas keuangan kita mestinya melakukan langkah-langkah berikut ini :

A. Mencari cara untuk membuat pemilik mendampingi dan mengawal dana talangan yang akan/telah disuntikkan. Dalam proses pendampingan itu, mereka harus tetap di dalam negeri sampai penyehatan bank selesai.
B. Mengaitkan injeksi dana talangan dengan keharusan untuk memperoleh persetujuan Bank Indonesia terhadap setiap jenis transaksi besar, termasuk penarikan deposito. Hal ini diperlukan untuk mencegah munculnya aksi ambil untung dalam situasi keruh.
C. Berani dan secara hati-hati mengumumkan kepada publik bahwa situasi di BC tak berkaitan dengan krisis ekonomi, tapi karena salah kelola.
D. Menyiapkan exit strategy yang jelas. Dari frekuensi injeksi yang dilakukan dalam sembilan bulan, tampak otoritas keuangan tak pernah bertanya ”Sampai titik mana bank ini boleh dibantu?”

Otoritas keuangan tampak tidak merancang kebijakan mereka dengan teliti. Buat sebagian kalangan, ini persoalan governing capacity. Buat saya, ini persoalan inkompetensi. Sebab, bila keempat prosedur itu dirancang dengan baik dan teliti, kita tidak perlu menyaksikan semua kekisruhan ini: pemilik bisa kabur, terjadi penarikan deposito besar-besaran pasca-bailout, munculnya rumor dan spekulasi yang berbahaya, dan bengkaknya dana talangan sampai 10 kali lipat.

Apakah benar ballout BC tidak merugikan keuangan Negara? Merupakan moral hazard. Pemilik bank tanpa peduli kerap berharap dana talangan dari pemerintah walau banknya salah kelola. Pertumbuhan kredit bisa kian terjepit. Dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi global selama lima tahun ke depan dan relatif lemahnya dinamika ekonomi dalam negeri, LPS harus menyiapkan dana talangan yang cukup. Salah satu opsinya adalah mempertahankan (atau menaikkan) premi asuransi. Premi yang naik dalam situasi sekarang berpotensi menggerus keuntungan bank dan menggencet pertumbuhan kredit, terutama pada bank-bank yang sedang lesu. Dana talangan tidak kembali utuh. LPS mengatakan pemulihan sudah 20-30 persen saat ini. Tapi data itu bukan tren yang boleh diekstrapolasi sewenang-wenang. Ingat, fakta menunjukkan bahwa beban dana talangan biasanya akan tetap lebih besar daripada market value bank bersangkutan.

Mungkinkah Hak Angket ?
Komposisi DPR RI hasil pemilu legislative 2009 menunjukan perolehan suara Demokrat sebesar 148 kursi (26%) ditambah partai koalisi-koalisinya, PKS 57 kursi (10%), PAN 46 kursi (8%), PKB 28 kursi (5%) dan PPP 38 kursi (7%) maka terdapat 56% atau mayoritas DPR RI merupakan partai pendukung pemerintah. Dengan Komposisi demikian ditambah dukungan Golkar maka mayoritas parlemen dikuasai koalisi partai pemerintah. Walau kasus BC telah direkomendasikan oleh DPR RI periode lalu untuk ditindak lanjuti secara hukum dan politik.
Jika mengikuti tata tertib, hanya dengan diusulkan oleh 25 anggota dan min 1 fraksi mungkinkah hak angket untuk kasus BC ini dapat dilaksanakan. Wallahu’alam bi shawab.

Senin, 26 Oktober 2009

MENAKAR TIM EKONOMI KABINET INDONESIA BERSATU 2 : OPTIMIS ATAU SKEPTIS.

Segera setelah diumumkan struktur Kabinet Indonesia Bersatu 2 (KIB) pasar bereaksi menanggapi komposisi kabinet. Mengikuti pelemahan IHSG, nilai tukar rupiah pun ikut lesu. Rupiah kembali menembus level 9.500 per dolar AS akibat koreksi setelah penguatan yang besar sebelumnya. Pada perdagangan Kamis (22/10/2009), nilai tukar rupiah ditutup melemah ke 9.580 per dolar AS, dibandingkan penutupan sebelumnya di level 9.430 per dolar AS. Menurut pialang, aksi lepas portofolio di pasar saham turut memberikan tekanan pada rupiah. Namun BI belum terlihat masuk ke pasar saham untuk menahan pelemahan rupiah.Ini hanya temporer karena pos-pos ekonomi penting masih dipegang oleh nama-nama yang memiliki reputasi tinggi seperti Menkeu Sri Mulyani, Mendag Mari Elka Pangestu dan Menneg PPN/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana. Para menteri itu diharapkan bisa memberikan support yang besar bagi Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang notabene orang baru untuk bidang perekonomian.
Secara keseluruhan pasar menilai positif komposisi KIB 2.

Karena didorong dua hal, pertama, Dukungan pasar pada pilihan Indonesia dalam demokrasi langsung. hal ini mudah dimengerti karena pasar yang dikuasai kapitalis Barat ingin menjadikan Indonesia sebagai contoh demokrasi terbesar dinegara muslim. Dorongan yang kedua, Sentimen positif global pasca pertemuan G 20 yang menghasilkan resolusi untuk melibatkan Cina dalam merestorasi perekonomian dunia. Hari ini para analysis menyatakan , Ekonomi China bertumbuh hingga tercepat dalam tahun ini dipicu biaya stimulus dan pertumbuhan kredit yang lebih cepat hingga rekor Gross domestic product (GDP)China naik 8,9% pada kuartal ketiga 2009 dari periode yang sama tahun lalu berdasarkan data Biro Statistik di Beijing. sementara rata-rata analis yang disurvey Bloomberg News menyatakan naik 9%.

Apakah sikap pasar domestic yang positif dan membaiknya perekonomian regional yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi Cina akan berbuah positif bagi Indonesia setidaknya dalam dua kuartal kedepan ? Mengapa SBY tidak memilih kabinet yang berisikan menteri yang terdiri dari orang-orang profesional yang populer disebut sebagai zaken kabinet tapi memilih kabinet koalisi ?

Tiga Agenda KIB 2
Mengutip pidato presiden SBY dalam pelantikan presiden dan wakil presiden di gedung MPR RI, Selasa, 20/10 pada kesempatan itu SBY tiga agenda kerja KIB dua.
1. Meningkatkan kesejahteraan rakyat
2. Memperkuat demokrasi
3. Meningkatkan keadilan.
Untuk meningkatkan dan memelihara kesejahteraan rakyat SBY mengatakan, Indonesia akan terus berada di garis depan, dalam upaya untuk mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik. Kami akan terus menjadi pelopor dalam upaya penyelamatan bumi dari perubahan iklim, dalam reformasi ekonomi dunia utamanya melalui G-20, dalam memperjuangkan Millenium Development Goals, dalam memajukan multilateralisme melalui PBB, dan dalam mendorong tercapainya kerukunan antar peradaban “harmony among civilizations”.

Di tingkat kawasan, Indonesia akan terus berikhtiar bersama negara-negara ASEAN lainnya, untuk mewujudkan Komunitas ASEAN, dan menjadikan Asia Tenggara sebagai kawasan yang damai, sejahtera dan dinamis. Pernyataan SBY dalam pidato itu mengirim isyarat tujuan dan agenda kerja utama dari KIB 2. Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, kabinet akan diarahkan untuk memenuhi target pada tahun 2015 Indonesia telah mencapai tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals - MDG). Yakni Penghapusan kemiskinan, Pendidikan untuk semua, Persamaan gender, Perlawanan terhadap penyakit, Penurunan angka kematian anak, Peningkatan kesehatan ibu, Pelestarian lingkungan hidup dan Kerjasama global. Mampukah formasi kabinet mencapai hal itu ditengah tantangan nyata ekonomi Indonesia ?

Tantangan KIB 2
Dari sisi perekonomian domestik, kita patut menghargai pencapaian kinerja ekonomi, tetapi kita juga pantas prihatin terhadap pencapaian kesejahteraan yang belum seperti harapan. Potret pengangguran berikut angka kemiskinan, meskipun dilaporkan terus menurun, memperlihatkan situasi yang lain di lapangan. Artinya, profil kesempatan kerja dan kemiskinan masih terlihat buram, meskipun perekonomian mampu tumbuh positif. Situasi "jobless growth" itu merupakan dampak dari pertumbuhan yang belum berbasis pada kinerja sektor riil yang mampu menciptakan lapangan kerja. Ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi lebih terlahir dari rahim 'daya tahan konsumsi' ketimbang hadir berkat 'geliat investasi langsung'.
Inti persoalan adalah kesenjangan iklim investasi akibat 'kemiskinan' infrastruktur. Ini menyangkut pasok dan distribusi energi, distribusi barang dan biaya transaksi antardaerah dan antarpulau yang begitu mahal, sehingga negeri ini tidak kompetitif. Dalam dua pekan terakhir, Jakarta mengalami pemadaman listrik secara bergilir. Di Palu ibukota Sulawesi Tengah pemadaman bergilir telah berlangsung dalam sepuluh tahun terakhir dan belum ada solusinya. Sukabumi yang hanya berjarak 120 KM dari Jakarta harus ditempuh dalam 4 jam karena tidak memadainya infrastruktur jalan. Tiap tahun Indonesia selalu konsisten menempati peringkat buruk sebagai negara yang korup. Birokrasi yang panjang dan berbelit dalam pengurusan izin investasi menambah daftar panjang resiko investasi di Indonesia. Lazim diketahui untuk mempertahankan anggaran departemen teknis, 'sibuk' mencari cara agar pagu anggaran habis di setiap akhir tahun fiskal-suatu kecenderungan yang hampir umum terjadi di semua departemen-sebagai upaya agar jatah anggaran tetap dikucurkan pada tahun fiskal berikutnya.

Untuk Ekonomi makro, komposisi para menteri dengan tetap dipertahankannya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dan Mari Pangestu sebagai Menteri Perdagangan, ditambah Budiono sebagai Wapres, maka kekuatan tim ekonomi makro kembali akan menjadi andalan. Sementara itu, yang menduduki posisi menteri yang bertanggung jawab di sektor riil, terutama energi dan pertambangan, pertanian, dan industri, serta yang bertanggung jawab dalam pembangunan infrastruktur tampak bahwa rekam jejaknya kurang memadai.
Penunjukan Hatta Rajasa sebagai Menko Ekuin penuh tentangan. Kekuatan Hatta adalah dipercaya Presiden dan mempunyai kemampuan koordinasi. Kelemahannya adalah dalam hal substansi kebijakan ekonomi. Dengan kuatnya tim ekonomi makro, maka tugas Hatta Rajasa menjadi sangat berat di sisi sektor riil di mana ia harus dapat mengatasi kelemahan dari tim ekonomi di sektor riil ini, berkaitan dengan energi, pertanian, industri dan infrastruktur. Hanya dengan memperkuat kelemahan ini dan membuat tim ekonomi dapat memberikan hasil (deliver) maka keberadaan Hatta Rajasa sebagai Menko Ekuin akan berkontribusi secara berarti.
Dengan menempatkan Kuntoro pada kedudukan nonmenteri diharapkan dia dapat mengatasi hambatan dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur dan sektor riil pada umumnya. Dikhawatirkan tidak adanya menteri yang memiliki rekam jejak sector riil. Karena perkembangan ekonomi Indonesia lemah di sektor riil yang semestinya menjadi pendukung utama pertumbuhan yang berkelanjutan dan menyediakan kesempatan kerja. Perkembangan ekonomi tidak akan sinambung jika hanya mengandalkan sektor non-traded yang berkaitan dengan jasa, seperti keuangan, telekomunikasi, dan perumahan. Pembangunan Indonesia membutuhkan dukungan sektor riil (traded) dan pembangunan infrastruktur. Mengandalkan kebijakan makro semata hanya mendatangkan investasi portofolio jangka pendek, di pasar modal dan pasar obligasi, yang tidak dapat secara langsung memperkuat struktur perekonomian. Dengan keterbatasan aset yang ditawarkan kepada investor portofolio, maka perkembangan investasi portofolio juga akan cepat menghadapi keterbatasan. Harapan terhadap perekonomian dan Pemerintah Indonesia demikian tinggi. Hal ini antara lain diperlihatkan dengan penguatan nilai rupiah dan indeks pasar modal yang sangat tinggi. Namun, keterbatasannya adalah tidak banyak aset di pasar modal yang diminati oleh investor.


Zaken Kabinet No Koalisi Yes.
Komposisi menteri yang menyerap dari berbagai kalangan dan partai politik mencerminkan kabinet koalisi. Secara lugas SBY menolak zaken kabinet. Tidak heran, dengan segala kelebihannya, kabinet koalisi atau kabinet perkoncoan sangat mempetimbangkan untuk mengakomodasi konco - konco SBY. Ini dilakukan SBY, untuk merengkuh kekuasaan secara bulat. Bagi SBY periode ini merupakan peride terahir menjadi presiden. Ia menginginkan periode ini berjalan mulus dan lapang yang membuka jalan SBY dipentas dunia. Kabinet perkoncoan ini apakah akan membuahkan skeptis atau optimis dalam lima tahun kedepan sangat ditentukan soliditas kerja dalam dua kuartal pertama.