Selasa, 10 November 2009

Saksi menjadi Indonesia

Siang itu awal tahun 1953 seorang perempuan muda. Di Calcutta, India, dengan berpakain Sari, tengah menyapa dan mengangkat seorang laki- laki tua yang kena kusta di jalanan Calcuta. Debu dan bau yang menyelimuti dirinya tidak menghalangi perempuan muda ini untuk menyapa dan mengangkatnya ke tempat perawatan. Perempuan muda dari Sarajevo ini menyapa orang yang kelaparan, peyakit kusta dan kemiskinan yang mendera bencana Calcutta lebih dari empat decade. Hingga dunia memberikan apresiasi Nobel Perdamaian pada pertengahan tahun 1990- an. Bagi umat Katolik Bunda Theresa telah menjadi Santo.
Warna itu berbeda di Bangladesh. Negara yang rentan dengan bencana. Bangladesh merupakan muara dari dua sungai besar Gangga dan Yamuna. Bila musim kemarau, angin topan datang menelan yang menghadang. Tak pelak, setiap saat banjir dan angin topan kerap datang. Ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal. Tak tehitung yang tewas. Kekurangan makan kisah tiap hari. Kisah Yang menggugah Muhammad Yunus untuk menanggulangi bencana. Ia menyuguhkan semangat dengan cara ekonomi. Ia bentuk Grameen Bank. Cara yang dinilai efektif untuk memandirikan dari bencana. Tidak hanya kail yang diberikan juga umpannya.
Yunus telah membuka hati dunia, hingga tahun 2006 ia mendapat Nobel Perdamaian. Masih hangat dalam ingatan gempa bumi dipesisir selatan Jawa, Sukabumi, Garut , Cianjur dan Tasikmalaya. Sejumlah bangunan runtuh. Masyarakat mengalami trauma gempa. Diantara korban gempa bumi di daerah Tasikmalaya Ajat Sudrajat. Seorang tunanetra dengan keahliannya memijat dan meluruskan tulang atau persendian korban gempa. Ia menyisir lokasi – lokasi gempa di Tasikmalaya dan Garut. Pada setiap kesempatan ia menawarkan keahliannya tanpa memungut sepeserpun. Sembari memijit ia bangkitkan kepercayaan mereka. Menarik dari jepitan trauma bencana. Padahal saat yang sama, kita tahu lewat media, Pemprov Jabar mengeluh daya serap dana bencana Tasikmalaya dan Garut jauh dari yang diharapkan.
Harapan yang tidak sebanding dengan kenyataan, tampak dalam hari Selasa(3/11) pada kesempatan pertama Rapat Dengar pendapat (RDP) Badan Anggaran (Banggar) yang baru dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani beserta jajarannya yang dipimpin oleh ketua Badan Anggaran Harry Azhar Azis dari fraksi Golkar. Demi alasan kemanusiaan dan tanpa perdebatan panjang Badan Anggaran DPR RI mengabulkan permintaan BNBP yang disampaikan oleh Menkeu Sri Mulyani dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Banggar DPR RI guna penanggulangan bencana sebesar Rp. 2,023 trilyun. Selain itu pada kesempatan yang sama, Banggar juga mengabulkan permintaan dari departemen dan lembaga negara lain yang disampaikan oleh Menkeu. Diantaranya adalah Departemen Sosial (Depsos), Departemen Pertahanan (Dephan), Sekretariat Negara (Sekneg), Direktorat Jendral (Dirjen) pajak. Sehingga total anggaran yang ditambahkan pada kesempatan itu sebesar Rp. 3,72 trilyun.
Untuk menambah anggaran Bantuan Langsung Tunai (BLT) 2009. Permintaan Depsos yang disampaikan langsung oleh Menkeu Sri Mulyani di hadapan anggota Banggar, Menkeu menjelaskan bahwa penambahan pagu anggaran BLT ini karena adanya selisih perhitungan antara database PT POS dengan BPS sebesar 334.751 rumah tangga sasaran (RTS), sementara dalam menggulirkan dana BLT, pemerintah menggunakan data PT. POS. Sehingga total kekurangan dana BLT sebesar Rp. 68,6 milyar dianggap sebagai dana yang mendesak yang harus segera di cairkan pada akhir tahun 2009 ini.
Dalam rapat kali itu tidak sedikit anggota Banggar yang mempertanyakan alasan urgensi anggaran yang dimaksud; “...kalo untuk penanggulan bencana adalah benar dikatakan mendesak, tetapi kalo untuk pengadaan barang dan alat apakah tidak bisa direncanakan sebelumnya...” demikian yang disampaikan oleh salah satu anggota Banggar dalam RDP. Nada sinispun terdengar; “...saya takutnya minggu depan atau bulan depan akan dilakukan seperti ini lagi dan mengatakan semuanya mendesak....”.
Perdebatan tidak hanya menyentuh urgensitas, tetapi juga menyinggung keterlibatan langsung para anggota terhadap persoalan – persoalan yang dibahas pada saat itu; “....logikanya adalah dia yang membahas dialah yang memutuskan...rasanya tidak mungkin orang lain yang membahas dan kita yang bertanggung jawab, dan kita tidak tau apa yang harus kita setujui....”, hal ini dianggap wajar karena pada rapat perdana ini banyak anggota Banggar yang betul – betul baru dan sama sekali belum pernah mengikuti rapat seperti ini karena memang baru sekali ini menjadi anggota DPR RI. Masa transisi seperti ini tidak hanya terjadi di Badan anggaran tetapi juga di Badan – badan yang lain, termasuk juga di komisi – komisi yang ada di DPR RI.
Merebaknya kasus terorisme di Indonesia yang target – targetnya bukan hanya pada tempat – tempat umum tapi juga pada pemerintah, hal inilah yang mendasari mengapa sistem pengamanan presiden juga harus di perbaiki, salah satunya melalui perbaikan pagar dan security system pengamanan istana kepresidenan serta wapres, Sekneg menganggarkan Rp 22,6 miliar. Hal ini memicu pertanyaan mengapa untuk hal seperti ini tidak dianggarkan sebelumnya tetapi masuk dalam kategori mendesak. “...hal ini dikaitkan dengan hasil investigasi dan rekomendasi dari kapolri pada saat menangkap dan menangani kasus noordin M. Top....” demikian penjelasan dari Menkeu pada saat itu.
Satu hal yang disetujui oleh para anggota Banggar hampir tanpa perdebatan adalah permintaan pemerintah untuk pembayaran pajak kendaraan pejabat negara sebesar Rp. 62,8 milyar. Pimpinan rapat cukup menyebutkan angkanya disusul dengan kata “setuju ??”, dan langsung disambut serempak oleh para anggota yang hadir “setuju” tanpa hambatan palu di ketok sebagai tanda pengesahan persetujuan Banggar.
Rapat Banggar yang dihadiri oleh Putra kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Edhie Baskoro Yudhoyono yang akrab dipanggil Ibas, yang juga menjadi salah satu anggota Badan Anggaran sebagai perwakilan dari Komisi I. Dalam rapat perdana yang membahas pengalokasian anggaran tersebut, tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut Ibas kendati jalannya sidang diwarnai hujan interupsi dari beberapa anggota dan terkadang terdengar celetukkan bak anak kecil “...kita boleh ikut naik gak pak?”, saat pimpinan rapat menyebutkan “....Kita bangga presiden kita sama dengan presiden Amerika yang memiliki pesawat air force one...”. Ibas hanya tersenyum dan sesekali terlihat membaca-baca lembaran kertas yang ada di mejanya. Bagi DPR RI tanpa anggaran tidak ada program. Cara berfikir lazim bagi organisasi pemerintah atau NGO. Bagi mereka bergerak harus ada anggaran.
Hari Selasa itu, Banggar DPR RI bukan seorang Santo tanpa rapat dan tanpa anggaran merawat manusia yang terlunta dan terkapar. Menteri keuangan bukan Muhamad Yunus yang menstimulus ekonomi dengan Grameen Bank tanpa harus berkutat dengan inflasi dan RAPBN. Atau bukan pula Ajat. Tuna netra sahaja yang tanpa berfikir PAGU anggaran berjalan dan bekerja. Suatu mustahil dikerjakan organisasi pemerintah. Cerita pada dua kisah ini bagai membandingkan kambing dengan kursi. Dua cerita yang tidak pantas dibandingkan. Namun satu kesamaan kemuliaan hati untuk bekerja secara berkelanjutan.
Hari mulai gelap ditingkahi hujan gerimis, ketika Ajat tengah menarik tulang kaki kiri korban bencana gempa di Garut. “ Tulang persendian ibu Yoyoh tertimpa tembok hingga retak. Ini harus di tarik dan diluruskan agar normal dan tidak bengkak” cetus Ajat sembari tangannya dengan cekatan menekan tulang kaki kiri. Ajat, Bunda Theresa, Muhamad Yunus dan anggota Banggar DPR RI bukan sejarawan, bukan pula pelaku. Mereka adalah saksi yang terlibat. Mereka memiliki kesempatan untuk jadi santo atau laksana Muhamad Yunus. Badan anggaran DPR RI dengan fungsi dan perannya mengabdi pada kemanusiaan. Merawat kejujuran saksi bagi ”menjadi Indonesia”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar