Selasa, 10 November 2009

SERIGALA DAN BANGAU

Dalam tiga pekan terakhir Indonesia hingar bingar dengan kasus cicak dan buaya. Istilah yang memakan korban pencetusnya pihak institusi kepolisian. Benar kata pepatah lidah tidak bertulang. Ia mengatakan itu secara spontan menanggapi penyadapan telpon dirinya oleh KPK. Cicak dan buaya telah mencipta symbol independent rakyat terhadap kekuasaan. Walau dikemudian hari tidak kurang dari Presiden SBY dan Kapolri Bambang Hendarso Danuri mohon kepada masyarakat untuk tidak menggunakan istilah itu. Sudah terlambat, cicak dan buaya tidak semata nama binatang, ia telah jadi symbol gerakan anti korupsi dan mafia hukum. Cicak dan buaya telah melekat dalam kesadaran masyarakat yang lahir tidak pada ruang dan waktu yang kosong, ia lahir dalam kesumpekan hukum yang dirasa tidak adil oleh masyarakat.

Tapi “rasa keadilan” punya sejarah yang rumit, separuhnya gelap yang mungkin belum juga selesai. riwayat Keris Empu Gandring dari Jawa abad ke-11: Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, dan atas nama keadilan, Ken Arok dibunuh Anusapati, kemudian Anusapati dibunuh Tohjaya. Pada abad ke 11 adil ditanah Jawa adalah : satu mata dibalas satu mata. Masih ingatkah bagaimana kitab suci mengisahkan Iblis yang menyanggah Tuhan pada masa keabadian. Iblis diperintah untuk tunduk pada Adam dan Hawa yang terbuat dari tanah. Bagi Iblis perintah ini dirasa tidak adil karena ia merasa lebih mulia terbuat dari api dan penghuni senior di surga dibanding Adam dan Hawa. Karena sanggahan itu Iblis dikeluarkan dari surga. Bagi Iblis agar rasa adil tercipta, ia bernegosiasi dengan Tuhan. “Tuhan saya siap menjadi penghuni neraka dan keluar dari surga. Namun izinkan saya untuk mencari kawan dengan menjerumuskan manusia. ”

Setiap saat manusia memiliki peluang menerima ajakan iblis untuk menjadi kawannya atau menolak menjadi kawannya. Dalam tiga pekan terakhir rakyat yang menyaksikan dan tahu lewat media perseteruan antara cicak dan buaya menjadi sulit membedakan mana kawan iblis atau bukan. Semua mengalir berdasar rasionalitas masing- masing. Pihak kepolisian dengan rasionalitasnya bersikukuh telah mendapatkan bukti yang cukup telah terjadi pemerasan dan penyalahgunaan wewenang pimpinan KPK yang dilakukan oleh Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah. Presiden SBY dengan rasionalitasnya berketetapan untuk tidak tergoda melakukan “intervensi pada perkara yang ditangani pihak kepolisian.” Dengan rasionalitasnya kita mendengar lewat rekaman yang diperdengarkan kepada umum pada sidang di Mahkamah Konstitusi, Anggodo bercakap dengan sejumlah pejabat kejaksaan, kepolisian dan orang- orang yang terkait dengan kasus itu. Ia meyakinkan public seperti juga Kapolri bahwa ini bukan rekayasa. Tapi mencocokkan waktu kejadian dengan alasan lupa.

Di dunia maya facebooker juga memiliki rasionalitasnya. Digagas oleh Usman Hamid, Dosen Universitas Muhammadiyyah Jambi. Terpasang 1 juta dukungan pada Bibit Samad dan Chandra Hamzah. Saat tulisan ini dibuat. telah terlewati 1,5 juta yang join dengan group ini. Didunia nyata, hari minggu yang lalu mereka berkumpul menggelorakan semangat dan menyegarkan ingatan Indonesia Sehat tanpa Korupsi. Dan kasus ini harus jadi momentum perubahan mafia hukum. Maka bila presiden SBY seusai sidang kabinet paripurna mencetuskan ganyang mafia hukum menjadi program 100 hari. Masyarakat terlanjur sangsi dan menunggu kesungguhan program ini.

Sejatinya Kita harus sepakat pada dua hal, Bahwa korupsi adalah kejahatan yang harus dibasmi. Kedua, Kepolisian, Kejaksaan dan KPK adalah lembaga Negara yang harus dijaga, dirawat dan diperkuat. Karena itu, personalisasi lembaga harus dihindarkan. BHD atau Bibit akan datang dan pergi. Bermodal akal sehat dan nurani kita bisa mengatakan terjadi ketidak adilan pada dua pimpinan KPK itu. Mengapa ujung penerima suap yang selalu dikejar dan dituduhkan. Pada hal semua tuduhan itu ditolak oleh Bibit dan Chandra. Sementara penyuap yang mengakui yakni Anggoro tidak dikenakan tahanan. Rasionalitas kita menjadi buntu. Tak pelak rakyat mencari udara segar ditengah sumpeknya mafia hukum. Animo dukungan pada Bibit – Chandra, mendapat media pada facebook harus dipandang cara baru civil society mengungkapkan aspirasi dan berkomunikasi pada kekuasaan.

Tak kalah mengejutkannya pengakuan seorang Wiliardi dalam persidangan kasus pembunuhan Nasrudin, dimana ketua KPK diduga menjadi otak tersangkanya, menambah panjang deretan kebohongan publik yang telah dilakukan dan semakin membuat masyarakat tidak percaya pada proses penegakan hukum yang sedang berlangsung. Dengan segala daya upaya Wiliardi mencoba untuk meyakinkan banyak pihak bahwa pengakuan dia adalah kebenaran yang sesungguhnya. Pengakuan mantan Kapolres Jakarta selatan ini tidak hanya mengejutkan masyarakat tapi juga membuat panik kuasa hukum yang ada dibelakangnya. Perlu banyak klarifikasi yang harus dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menyikapi kasus – kasus yang sedang berkembang sekarang ini.

Kita tidak berharap seperti dongeng yang kerap diperdengarkan pada anak-anak ini. Tersebutlah dalam sebuah pesta kaum binatang. Turut hadir bangau dan serigala. Serigala dengan lahap dan rakus makan semua menu yang tersedia. Tanpa diduga sebuah tulang melintang ditenggorokannya. Turun tidak bisa, dimuntahkanpun tidak bisa. Fatal akibatnya serigala menjadi sulit bernafas bila dibiarkan kematian akan datang menjemput. Serigala membutuhkan pertolongan. Ia meminta bantuan kepada bangau untuk menolong mengambil tulang yang melintang ditenggorokan. “Bagaimana caranya?” cetus bangau. “Masukkan paruhmu kedalam mulutku.” Jawab serigala. Tanpa berprasangka dan dengan niat tulus, bangau menjulurkan kepalanya hendak mengambil tulang. Dalam sepersekian detik, hasrat rakus serigala muncul. Serigala berfikir “sayang dilewatkan kepala bangau yang enak untuk tidak ditelan. Namun bila ditelan ia akan mati. Ah tidak, aku akan merasakan kenikmatan kepala bangau.” Tanpa berfikir panjang serigala memakan kepala bangau.

2 komentar:

  1. kemelut 3 (tiga) institusi negeri ini menjadikan kebenaran & keadilan sebuah fatamorgana.

    BalasHapus
  2. mari melakukan kejujuran mulai dari diri sendiri..

    BalasHapus