Selasa, 24 November 2009

Mencandui jejak Ibrahim AS

Seperti waktu sebelumnya, seribu empat ratus tahun tradisi ini telah berlangsung. Saat ini jutaan manusia berkumpul di tanah Makah. Mereka melakukan tawaf mengelilingi ka’bah. Sambil berseru Labbaika Allahumma Labaika. Walakalhamdu Labbaik. Ka’bah yang dikunjungi jamaah haji mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana misalnya ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Ka’bah ini pernah berada dalam pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak, yang konon kuburannyapun di tempat itu, namun demikian budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah SWT memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah SWT.

Dalam haji Mereka datang dari tempat yang dekat ataupun jauh. Beragam cara kaum muslimin meneguhkan keimanan membulatkan tauhid langsung berhadapan dengan jejak sejarah awal bapjavascript:void(0)ak monotheisme dan bapak para nabi yakni Ibrahim AS. Yang menurunkan Ismail dan Ishaq. Dari keduanya lahir : Yahudi, Nashrani dan Islam. Dalam hadistnya Muhammad Rasulullah SAW mencontohkan kaum muslimin untuk meneruskan apa yang telah dilakukan Ibrahim dan Hajar. Haji dan Idul Qurban.

Haji dilakukan pada hari-hari tertentu di bulan Dzulhijjah. Jamaah haji melakukan amalan-amalan tersebut pada tempat-tempat yang tertentu pula. Di antaranya adalah Makkah, tempat para jamaah haji melakukan tawaf (mengelilingi ka’bah), sa’i (lari-lari kecil), dan tahallul (memotong rambut). Kemudian Arafah, suatu padang tandus tempat para jamaah haji melakukan perenungan dan berdoa sebanyak-banyaknya. Lalu Mina, tempat para jamaah haji melontar tiga macam jumrah, dan seterusnya hingga ritual haji selesai.

Menurut Dr. Ali Syari’ati dalam bukunya berjudul HAJI : menafsirkan dan mengajak kita untuk menyelami ritual haji menuju makna yang sesungguhnya. Ia juga menggiring kita ke dalam lorong haji yang penuh hikmah. Karena haji dalam pemahamannya bukan sekadar wisata ibadah. Haji merupakan sebuah langkah maju menuju pembebasan diri, bebas dari penghambaan kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan. Memahami makna haji, membutuhkan pemahaman sejarah Nabi Ibrahim dan ajarannya. Penemuan Ibrahim bukanlah menemukan dalil matematika atau dalil fisika. Tapi Ibrahim merevolusikan persepsi manusia tentang Tuhan. Dari Ibrahim ajaran motheisme lahir. Tuhan yang Maha Esa.

Haji merupakan kepulangan manusia kepada Alloh SWT yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan,kekuatan, pengetahuan. Misalnya di Miqat apapun ras dan suku harus dilepaskan. Semua ditinggalkan ketika Miqat dan seorang haji berperan sebagai manusia yang sesungguhnya. Di Miqat dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. Ia akan merasakan kelemahan dan keterbatasannya.

Idul Adha dan peristiwa qurban tidak sebatas bermakna sepiritual semata wujud totalitas kepasrahan Nabi Ibrahim kepada Tuhan. Keduanya juga mempunyai makna pembebasan manusia dari kesemena-menaan manusia atas lainnya. Ketika Tuhan mengganti Ismail dengan seekor domba, tersirat pesan yang ingin memaklumkan manusia agar tidak lagi menginjak-injak manusia lain dan harkat kemanusiaannya.

Peristiwa tersebut juga ingin menegaskan bahwa Tuhan Ibrahim bukanlah Tuhan yang haus darah manusia. Dia adalah Tuhan yang ingin menyelamatkan dan membebaskan manusia dan harkat kemanusiaan itu sendiri dari tradisi yang tidak menghargai manusia dan kemanusiaan. Jadi dalam konteks ini, mimpi Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, merupakan petunjuk Tuhan yang secara simbolik menuntut perjuangan maha berat.

Pertanyaannya “ Mengapa Tuhan membarter Ismail dengan domba”? Hal itu merupakan pesan penting dimana Tuhan ingin mempermaklumkan bahwa pengorbanan diri manusia dan harkat kemanusiaannya sebenarnya tidak dibenarkan oleh Tuhan. Hal ini kemudian merubah persepsi tentang wajah Tuhan, tuhan dihadirkan dalam kazanah kearifan dan kelembutan, sebelumnya Tuhan dipersepsikan sebagai Dzat yang Maha haus darah dan menuntut pengorbanan diri manusia. Tradisi mempersembahkan manusia sebagai sesaji pada tuhannya sebenarnya dibentuk oleh peradaban masa itu, seiring tardisi waktu itu maka peristiwa Qurban juga menandakan revolusi sosiologis terhadap eksistensi manusia dan budayanya. Sebab dari sinilah pesan awal pemutusan tradisi membunuh manusia demi kepentingan Tuhan.

Pesan spiritual yang lain ialah pada kecerdasan nalar manusia menuju titik Tuhan. Kecerdasan nalar yang dimaksud ialah seberapa sanggup manusia mengidentifikasi belenggu pada dirinya untuk disembelih, dikorbankan demi totalitas pengabdian diri pada Tuhannya. Selayaknya keiklasan Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail, dimana Ismail bagi Ibrahim ialah harta yang dimiliki dan dinanti dalam kurun waktu lama.

Persoalannya bagaimana cara dan kekuatan nalar kita mampu menyeruak masuk kedalam totalitas makna momentum haji dan idul Qurban, sehingga piranti historis tersebut tidak semata- mata menjadi moment rutinitas hambar tak bermakna. Kekuatan piranti nalar bekerja menterjemahkan dan menangkap psikohistoris atas jejak Ibrahim merupakan kerja profan. Dimana hal itu akan membawa kita pada tinggkat kehanifan yang berujung pada terbentuknya pribadi khamil.

Nabi Ibrahim disebut-sebut sebagai bapak dari nabi-nabi yang membawa teologi tauhid atau keesaan Tuhan Di dalam Al-Qur’an kita dianjurkan agar mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif. Yaitu, anittabi millata ibraahim hanifan, hendaklah kamu mengikut agama Ibrahim yang lurus, atau tidak menyimpang. Selain disebut hanif, agama Ibrahim juga disebut agama yang penuh samaahah, atau agama yang penuh toleransi terhadap manusia lain.

Menjelang Haji dan Idul Qurban 1430 H, sepantasnya kita bertanya ? Apakah peristiwa Ibrahim AS dan Ismail AS yang pasrah dan hanif telah menjadi telaga kehidupan kita ? Apakah perjuangan Hajar untuk sa’i demi Ismail menghalangi status social dalam bergaul ? Apakah sikap Rasulullh SAW untuk menunda pelaksanaan haji pada menjelang haji wada hingga terhindar dari pertumpahan darah, telah menjadi inspirasi bagi kita ? Apakah gelar Haji dan Idul Qurban kita masih penuh dengan topeng untuk mengangkat status social ?

Bagi Saudraku dimana saja berada, Selamat menunaikan ibadah Idul Qurban dan bagi saudaraku yang menunaikan ibadah haji semoga Allah SWT melimpahkan haji Mabrur yang mengangkat kita menjadi manusia yang hanif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar