Kamis, 10 Desember 2009

Bundaran HI

Siang itu Bundaran Hotel Indonesia (Bundaran HI) terasa sesak tidak cukup menampung ribuan manusia. Berbaur dengan debu dan macetnya jalan. “ Siapa yang anti korupsi – pasti duduk” ucap salah seorang Korlap aksi massa memerintahkan massanya agar duduk. Aksi massa yang dilaksanakan sebgai bentuk kepedulian masyarakat terhadap pemberantasan korupsi di muka negeri ini.

Bunderan HI pasca reformasi 1998 tidak pernah sepi dari geliat aksi massa. Poster dan spanduk menjadi penghias aksi massa. Bunderan HI menjadi saksi gaduh politik di Indonesia. Bukan kali ini saja Bunderan HI menjadi panggung aktivitas warga. Pada car free day tiap dua minggu sekali Bunderan HI menjadi ajang titik kegiatan warga untuk unjuk aksi. Kerap setiap kegiatan aksi massa atau kegiatan yang melibatkan warga, rasanya belum absah bila tidak melewati Bunderan HI. Bunderan HI telah menjadi icon public untuk diliput.

Fungsi Bundaran HI sebagai titik jantung ibukota telah berubah fungsi sebagai tempat terbaik untuk kaum demostran menyuarakan suara hati nurani rakyat. Meskipun mafhum bahwa tidak ada satupun gedung Pemerintahan sebagai sasaran dari aksi demonstrasi itu berada disekeliling area tersebut.

Monumen Bundaran HI telah direnovasi oleh Pemda DKI dengan dihiasi dengan 5 (lima) Formasi Air Mancur yang merupakan simbol ideologi Negara Republik Indonesia yaitu PANCASILA yang memiliki 5 (lima) sila dan sekaligus juga merupakan simbol dari tanda memberi salam kepada kota Jakarta sebagai kota Ibu Negara dan Kota Metropolitan dengan formasi ucapan Selamat Pagi, Selamat Siang ,Selamat Petang , Selamat Malam dan Selamat Hari Minggu.

Berdirinya Patung Selamat Datang bertepatan dengan berdirinya Hotel Indonesia, yang dibangun berdasarkan penjiwaan dan daya cipta Presiden Soekarno presiden Republik Indonesia pertama, dengan maksud supaya Indonesia yang masih dalam muda dalam usia kemerdekaannya memiliki sebuah Hotel bertaraf internasional yang bisa dibanggakan kepada negara-negara lain. Patung Selamat Datang, terletak tepat ditengah piring raksasa dengan bahan patung yang dibuat dari tembaga dengan warna kemerah-merahan dengan simbol lingga-yoni .yang merupakan simbol favorit Bung karno dalam mengkreasi suatu bangunan. saat sekarang kondisi patung telah berwarna kehijau-hijauan akibat hujam asam yang sering membasahi tubuhnya.

Bundaran HI makin bertambah kapasitas pemakai jalannya hingga sekarang kedudukan Monumen Bundaran HI tepat berada dijantung Ibukota, lain dengan dulu saat baru diresmikan ditahun 1962 bundaran HI masih berada didaerah pinggiran kota Jakarta, kita masih bisa melihat kondisi Jakarta pada saat Hotel Indonesia berdiri dan pembuatan monumen baru sedang dalam penggalian dasar tempat berdirinya monumen patung selamat datang dari dokumentasi pembangunan Hotel Indonesia, difoto-foto tua dokumentasi pembangunan dapat dilihat dengan jelas Jalan Sudirman masih sepi dari bangunan pencakar langit.

Monumen Bundaran HI saat sekarang sering dimanfaatkan sebagai titik acuan pencapaian. Hal ini bisa kita lihat dari kalimat-kalimat promosi real astate atau property. Kita tidak asing dengan kalimat-kalimat ‘Lokasi Perumahan kami hanya 30 menit dari jantung kota’ dan digambarkan jantung Kota tersebut adalah patung Selamat datang bundaran HI. Saat ini sebuah Stasiun Telivisi dengan Acara berita juga mengambil lokasi Monumen Bundaran HI sebagai latar belakang layout studio.

Sungguh bermaknanya Monumen bundaran HI sebagai identitas dari Kota Jakarta. Dibanding kawasan MONAS yang telah dibatasi dengan pagar pembatas yang tinggi seakan – akan memisahkan rasa kepemilikan masyarakat sehingga masyarakat Jakarta lebih memilih dan menyukai Monumen Bundaran HI.

Ditengah gaduhnya politik Indonesia dan gelombang aksi massa di Bunderan HI. Saya bertanya “Seperti inikah cara merumuskan Indonesia“ ? Apakah ini terbayang oleh Bung Karno saat membangun patung selamat datang pada piring bunderan ini.” ?

Atau apakah Tan Malaka pada 1943, yang menyeru untuk teknologi. ”Ciptakan teropong 100 inci,” katanya dalam Madilog, ”yang bisa melihat kesemua penjuru alam 500.000.000 tahun sinar jauhnya. Melihat Indonesia seperti karnaval di tempat ini. Atau apakah rumusan Indonesia terimajinasi oleh Bung Hatta saat membentuk Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Belanda.

Saya tidak sendirian. Bersama yang lain, tidak cukup fasih merumuskan dengan apa arti Indonesia. Tapi saya melihat teman-teman saya yang tanpa merumuskan apa pun berdiri menyanyikan Padamu Negeri seraya siap untuk melakukan tindakan besar bagi orang banyak di negerinya—misalnya melawan mereka yang menindas. Saya mengenal Ajat yang—meskipun tak menyukai apa saja yang ”beraroma negara”—berkaca-kaca matanya ketika mendengar Indonesia Raya dengan musik yang agung.

Bunderan HI telah jadi panggung merumuskan Indonesia kedepan. Ia tempat bersahaja Bagi siapa saja tanpa protokloler untuk mengekspresikan pikirannya. Selain Senayan dan Istana Negara, Bunderan HI menjadi lahan untuk menyatakan aspirasi, berserikat dan berkumpul. Di tempat ini, benih pertukaran gagasan mencipta Indonesia disemai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar