Kamis, 14 Januari 2010

KAJI ULANG ASEAN CHINA FREE TRADE AGREMEENT (AC-FTA)

Belum genap satu bulan dari tenggat perjanjian FTA 1 Januari 2010 beberapa kalangan mendesak pemerintah untuk menegosiasi ulang perjanjian itu. Ketua DPR Marzukie Alie meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera melakukan renegosiasi ASEAN China Free Trade Agreement (AC-FTA) karena akan mematikan 11 sektor industri terutama sector industri tekstil dan produk tekstil, makanan dan minuman, petrokimia, alat-alat dan hasil pertanian, alas kaki, sintetik fiber, elektronik, industri permesinan, jasa engineering, besi dan baja, serta industri komponen manufaktur otomotif yang akan menimbulkan gelombang massal pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jumlah besar. Selanjutnya, sebagai bahan argumentasi DPR dalam meminta pemerintah agar melakukan renegosiasi AC AFTA dan CEFT AFTA dengan mempertimbangkan UU No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional di dalam pasal 1 poin b. pasal 2. pasal 4 ayat (2). pasal 11 ayat (2) dan pasal 18. Kemudian article 6 Modification oJCon-ses-sions dalam Agreement on Trade Good of The Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between The Association of Southeast Asian Nations and The Peoples of China.
Bersamaan dengan itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah memutuskan penundaan penerapan FTA ASEAN-China. Dikhawatirkan, kesepakatan pembebasan bea masuk impor justru akan memperlemah posisi UMKM sebagai tulang punggung industri di Indonesia. Perwakilan 10 sektor industri mendesak penundaan pemberlakuan FTA ASEAN China, yaitu sektor besi dan baja, petrokimia, benang dan kain,hortikultura, makanan dan minuman, alas kaki, elektronik, kabel, serat sintesis, dan mainan. Meskipun sebagian sektor itu kemudian berhasil diyakinkan pemerintah tentang keharusan mengikuti FTA ASEAN-China, sektor-sektor seperti tekstil, baja, dan petrokimia tetap bersikeras meminta penundaan. Menghadapi tekanan-tekanan itu, pemerintah memutuskan tetap konsisten menerapkan kesepakatan FTA ASEAN-China dengan janji untuk menyampaikan hal-hal penting dari keberatan pengusaha Indonesia itu secara tertulis kepada Pemerintah China. Pemerintah melalui Departemen Keuangan menyatakan, langkah-langkah yang diambil harus tetap berada dalam koridor FTA ASEAN-China. Artinya, FTA ASEAN-China akan jalan terus. Apakah FTA menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, seperti target pemerintah sebesar 5,5 % ? Atau Apakah FTA membawa bencana yang berakibat pada PHK dan pengangguran ?

Prospek Ekonomi 2010
Menghadapi FTA pemerintah prediksi tersebut diwakili oleh apa yang biasa disebut sebagai asumsi dasar ekonomi makro, dalam RAPBN dan APBN. APBN 2010 yang ditetapkan pada akhir Oktober 2009, mencantum asumsi makroekonomi sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 %; tingkat inflasi sebesar 5,0 %; rata-rata kurs adalah Rp10.000/USD; Neraca Pembayaran Indonesia surplus, cadangan devisa bertambah; rata-rata suku bunga SBI 3 bulan sebesar 6,5 %; dan Rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar USD 65 per barel dengan lifting sebanyak 0,965 juta barl per hari. Nota Keuangan itu meyebut ada beberapa tantangan yang menghadang pada tahun 2010. Diantaranya berupa : program stimulus ekonomi yang belum optimal, ketatnya likuiditas global, dan meningkatnya harga minyak dan beberapa komoditi di pasar internasional. Diakui pula tantangan lain yang lebih bersifat domestik, yakni tingginya tingkat pengangguran dan angka kemiskinan, serta infrastruktur tak memadai. Dengan asesmen yang demikian, Pemerintah menetapkan arah kebijakannya dalam mengelola perekonomian, yaitu: menjaga stabilitas ekonomi makro, meningkatkan pembangunan infrastruktur dan mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan. Secara lebih khusus, Pemerintah mengaku akan mengutamakan program jaminan sosial dan peningkatan kapasitas usaha skala mikro dan kecil serta koperasi serta program-program lainnya.
Sementara itu, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan perbankan, terlihat lebih konservatif dalam memperkirakan perekonomian Indonesia tahun 2010. Belakangan, Bank Indonesia memang lebih sering mengeluarkan estimasi yang lebih realistis dan secara cepat membuat revisi, khususnya yang terkait dengan prakiraan pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2010 berada di kisaran 5% - 5,5 %, yang akan dimotori terutama oleh kegiatan ekspor dan investasi dari sisi permintaan. Namun diakui adanya downside risks terutama jika akselerasi perbaikan volume perdagangan dunia tidak secepat yang diperkirakan.
Di luar otoritas ekonomi, ada banyak pandangan yang dikemukakan. Yang paling mudah diperbandingkan antar ramalan itu adalah mengenai prakiraan pertumbuhan ekonomi karena memang dijadikan sentral pembahasan masing-masing. Sebagai contoh, IMF mengemukakan angka 4,8 %, sedang kebanyakakan ekonom Indonesia menyebut angka di atas 5 %. Menurut Faisal Basri, ekonomi Indonesia harus tumbuh 6 %. menurutnya, jika 5,5 % berarti tidak ada keinginan untuk kerja keras dari Pemerintah.
Bagaimanapun, ada kesamaan yang menonjol dalam semua prospek ekonomi tersebut. Ada optimisme bahwa perekonomian Indonesia akan lebih baik, dan secara lebih khusus disebutkan angka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Argumen utamanya pun sama, yakni karena adanya pemulihan perekonomian global, khususnya di negara-negara industri maju. Amat kuat keyakinan pulihnya kondisi ekspor-impor di berbagai negara, yang berarti perdagangan dunia bisa mendongkrak ekspor Indonesia. Arus modal dan keuangan internasional pun diyakini akan lebih stabil, dan pada saat bersamaan, kondisi dan rating Indonesia yang terkait dengan itu cukup baik. Singkatnya, faktor-faktor eksternal diperkirakan akan amat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia 2010.
Dilihat dari sisi domestik, konsumsi sebagai motor pertumbuhan ekonomi diyakini masih akan meningkat cukup pesat. Ditambah dengan sudah adanya rencana investasi di bidang infrastruktur yang sedang dan mulai direalisasikan tahun 2010, baik dari pihak swasta maupun pemerintah. Meskipun mulai goyah selama beberapa minggu terakhir, sampai dengan sebulan lalu, stabilitas politik diyakini sebagai faktor positif. Majalah The Economist edisi September 2009 menyebutnya bersama dengan tekad anti korupsi sebagai variabel amat positif dari Indonesia.
Pencermatan atas kebanyakan prospek ekonomi tersebut akan membawa kepada salah satu kesimpulan bahwa kondisi perekonomian Indonesia masih amat bergantung kepada dinamika ekonomi global. Rekomendasi yang diberikan pun terkait dengan optimalisasi transaksi internasional, baik dalam soal arus barang maupun arus modal. Ada kesan bahwa faktor domestik lebih sebagai “bumper” belaka. Pengaman, jika keadaan global sulit, maka ada faktor pengaman agar Indonesia tidak sampai hancur perekonomiannya. Untuk tumbuh dan menjadi sejahtera, faktor eksternal masih dianggap lebih penting. Ironisnya lagi, justeru kurang manageable alias agak di luar kendali otoritas ekonomi Indonesia.

FTA :Pengangguran dan PHK ?
Kekhawatiran pengangguran dan (Pemutusan Hubungan Kerja ) PHK akan bertambah bila membaca defisit perdagangan China selama lima tahun dengan Indonesia yang membengkak. Indonesia merugi puluhan triliun dengan China. Indonesia hanya mengalami surplus perdagangan dengan China pada 2003. Selama periode Pemerintahan SBY tercipta lapangan kerja baru sebanyak 8,83 juta orang (dari 93,72 juta menjadi 102,55 juta). Sementara angkatan kerja bertambah sebanyak 7,98 juta orang (dari 103,97 juta menjadi 111,95 juta). Dengan kata lain, lapangan kerja baru yang tersedia hanya sedikit diatas laju pertumbuhan angkatan kerja. Pada Agustus 2008, ada 31,09 juta orang setengah pengangguran atau 27,77 %. Terdiri dari setengah penganggur terpaksa sebanyak 14,92 juta orang dan setengah penganggur sukarela sebanyak 16,17 juta orang. Selama empat tahun pemerintahan, jumlah penganggur hanya berhasil dikurangi sebanyak 2,27 juta.
Sementara itu, angka setengah pengangguran justru mengalami perkembangan yang lebih buruk, bertambah sebanyak 3,14 juta orang. Jika melihat komposisi antara pekerja formal dan informal, maka tampak tidak adanya perbaikan yang berarti, meski sempat ada sedikit perbaikan dalam dua tahun pertama. Jumlah pekerja formal pada Agustus 2004 adalah sebanyak 28,43 juta orang atau sebesar 30,33%, sedangkan pekerja informal adalah sebanyak 65,30 juta orang atau sebesar 69,67% dari mereka yang bekerja. Dengan kata lain, pemerintahan SBY kurang berhasil menciptakan lapangan kerja baru di sektor formal yang banyak diinginkan oleh para pencari kerja dan para pekerja informal (yang sebagian cukup besarnya berstatus setengah penganggur).
Kekhawatiran pengangguran akan bertambah bila membaca defisit perdagangan China selama lima tahun dengan Indonesia yang membengkak. Indonesia merugi puluhan triliun dengan China. Indonesia hanya mengalami surplus perdagangan dengan China pada 2003. Tahun-tahun berikutnya, Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan Indonesia. Saat ini hampir semua jenis produk China masuk melenggang bebas ke Indonesia. Data BPS meunjukan saat ini saja ekspor kita ke China hanya 5,91%, sedangkan impornya mencapai 8,55%. Perdagangan bebas sudah dijalankan, diprediksi ekspor kita hanya naik 2,29% menjadi 8,20 %. Sebaliknya impor Indonesia dari China naik 2,81% menjadi 11,37 %.
Banjir produk murah dari China menyebabkan pangsa pasar usaha tekstil dan produk terkait (TPT) domestik menurun dari 57 persen pada 2005 menjadi 23 persen pada 2008. Di bidang ekspor, produk nonmigas Indonesia seperti tekstil dan mainan anakanak juga makin disaingi produk-produk sejenis dari China. Meningkatnya proteksionisme di AS, Eropa, dan banyak negara di belahan bumi lain sejak era krisis global membuat kita khawatir, produk-produk China justru akan mengalir ke pasar Indonesia. Indikatornya sudah jelas, tahun 2008 Indonesia mengalami defisit USD3,61 miliar dalam perdagangan dengan China. Dalam perdagangan di sektor nonmigas, keadaan berbalik dari surplus USD79 juta pada 2004 menjadi defisit USD7,16 miliar pada 2008. Bahkan sejak 2004, sebenarnya Bank Dunia telah memperkirakan bahwa China akan menjadi pesaing utama bagi ekspor nonmigas Indonesia untuk produk-produk seperti tekstil,produk TPT,mainan anak-anak, sepatu oleh raga. Di pasar internasional, terlihat sulit bagi Indonesia untuk bisa mengatasi produk-produk China yang, sama dengan kebanyakan produk Indonesia, bersifat labour intensive.
Mengingat perhitungan garis kemiskinan (GK) oleh BPS adalah berasal dari data SUSENAS, maka bisa dikatakan bahwa kenaikan harga-harga yang dialami (dikonsumsi) oleh penduduk miskin adalah lebih tinggi daripada yang dirasakan secara rata-rata oleh seluruh penduduk. Mengingat perhitungan garis kemiskinan (GK) oleh BPS adalah berasal dari data SUSENAS, maka bisa dikatakan bahwa kenaikan harga-harga yang dialami (dikonsumsi) oleh penduduk miskin adalah lebih tinggi daripada yang dirasakan secara rata-rata oleh seluruh penduduk. Akan tetapi, perbedaan besaran antara keduanya belum memperlihatkan pola tertentu. Sebagai contoh, ketika inflasi umum naik dari 6,52 persen (2007) menjadi 8,17 persen (2008), laju kenaikan GK justeru melambat dari 9,67 persen menjadi 9,56 persen. Jika dikaitkan dengan informasi BPS bahwa GK lebih banyak ditentukan oleh kebutuhan makanan, maka inflasi kelompok bahan makanan dan makanan perlu diperhatikan secara tersendiri. Tampak kecenderungan kenaikan bahan makanan selalu lebih tinggi daripada inflasi umum (kecuali tahun 2006 yang relatif setara), dan dengan sendirinya lebih tinggi daripada laju kenaikan garis kemiskinan. Dari sisi ini FTA yang dibarengi dengan PHK dan inflasi akan memukul rakyat miskin dengan telak.

Mencari Berkah di balik FTA
Ibarat pepatah, bagi Indonesia telah meludah pantang dijilat. Ditengah kekhawatiran FTA akan menahan laju pertumbuhan ekonomi, perlu dicari siasat menghadapi FTA. Pemerintah mesti lebih giat mengkampanyekan 'Cinta Produk Dalam Negeri' untuk dalam pemberlakuan Free Trade Agreement (FTA) Asean-China. Di Korea. Dikatakan, di saat mobil produk Jepang mampu menguasai pangsa pasar di sejumlah negara, namun tidak demikian di Korea. Warga Korea sangat sedikit yang menggunakan mobil produk Jepang. Mereka lebih suka menggunakan mobil produksi dalam negeri, meski tahu produk Korea lebih buruk.
Menerapkan proteksi nontarif (non-tariff barrier) bukanlah kebijakan yang terus-menerus bisa diandalkan sebagai "solusi taktis" dari penerapan FTA ASEAN-China ini karena pasti mengundang pembalasan (retaliation) dari China.Tahun 2007 terjadi "perang dagang" Indonesia-China meski dalam skala terbatas ketika BPOM mengumumkan sejumlah produk makanan, kosmetik, minuman dan mainan anak-anak dari China mengandung bahan formalin yang membahayakan kesehatan.Pengumuman itu segera diikuti oleh inspeksi besar-besaran BPOM atas produk-produk makanan, minuman, dan produk China lain di kota-kota besar di Indonesia.
Hanya dua hari setelah inspeksi itu dilakukan, China mengumumkan pelarangan impor hasil laut Indonesia, yang jelas merupakan reaksi langsung dari tindakan Indonesia. Perselisihan dagang itu akhirnya bisa diakhiri pada awal September 2007 setelah tim dagang dari Indonesia berkunjung ke China untuk membicarakan standardisasi produk foods dan non-foods.Ini mencerminkan bahwa China bukanlah partner dagang yang mudah "diakali" dan bahkan jauh lebih "banyak akal" daripada kita.
Bagi Pemerintah, perlu menimbang ulang kepercayaan yang cenderung membuta pada prinsip-prinsip ekonomi liberal, khususnya dalam hal perdagangan bebas. Seperti dilansir The Economist, Newsweek dan Foreign Affairs, krisis finansial global telah mengembalikan proteksionisme sebagai pilihan kebijakan bagi banyak negara. Pelopornya adalah AS dengan kebijakan Buy American yang dikeluarkan Kongres pada Januari 2009, yang melarang pembelian barang-barang impor dalam proyek-proyek yang dibiayai pemerintah. Sesuai janjinya dalam kampanye, Obama juga kian protektif terhadap China karena secara konkret produk-produk murah China telah mematikan beragam sektor usaha di AS dan menyebabkan pengangguran masif.
Tak ada salahnya Pemerintah Indonesia belajar dari Obama yang demi rakyatnya rela mengingkari komitmen perdagangan bebas yang semula menjadi "ideologi" AS, termasuk menegosiasikan ulang perjanjian bebas dalam kerangka NAFTA yang diikuti AS sejak 1994. Bisa dipastikan, tanpa keberanian menegosiasikan ulang FTA ASEAN-China, gejala deindustrialisasi akan kian masif di negeri ini.Tanpa FTA ASEAN-China hal itu sudah terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar