Minggu, 10 Januari 2010

Lenyapnya Jawaban Kehidupan

Inilah cerita tentang orang-orang Tanpa. Mereka membajak sawah tanpa padi. Mereka tertawa tanpa kebahagian. Mereka berjalan tanpa kaki. Mereka berfikir tanpa otak. Mereka membaca tanpa buku. Tanpa adalah absurditas kenyataan. Mungkinkah tertawa dan berfikir tanpa kebahagian dan otak ? Membaca ekspresi manusia dalam simbol huruf yang dirangkum menjadi satu disebut buku.

Sepanjang tahun 2009 Kejaksaan Agung memberi kado murung. Pengumuman Kejaksaan Agung yang menyadarkan betapa 12 tahun pasca reformasi soal pemberangusan buku belum banyak berubah. Kelima buku itu adalah Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karangan John Roosa; Suara Gereja bagi Umat Tertindas karya
Socrates Sofyan Yoman; Lekra Tak Membakar Buku karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan; Enam Jalan Menuju Tuhankarya Darmawan M.M.; serta Mengungkap Misteri Keberagamaan Agamakarangan Syahrudin Ahmad. Alasan pelarangan, mengganggu ketertiban umum. Alasan klise seperti itu sungguh sulit diterima akal. Tak ada keributan dimasyarakat gara-gara penerbitan buku-buku itu. Padahal beberapa buku
yang dilarang sudah lama terbit. Misalnya, buku yang ditulis Roosa,ahli sejarah PKI asal Amerika Serikat, dicetak pada Maret 2008. Versi Inggrisnya, Pretext for Mass Murder, dipublikasikan oleh University of Wisconsin Press pada Agustus 2006.

Pasti banyak pihak yang tidak sependapat dengan isi buku itu. Namun melarang buku menghancurkan kehidupan. Lebih dari cukup zaman Orde Baru buku dilarang beredar. Inilah semangat zaman mengakses informasi secara terbuka dan banyak pintu. Apakah pelarangan itu menghentikan literasi penyebaran buku yang dilarang?

Kalaupun ada yang tak setuju pada isi buku-buku itu, seharusnya membuat pendapat tandingan. Biarlah masyarakat yang menilai buku mana yang lebih layak dipercaya isinya. Hanya dengan membiarkan perbedaan pendapat itu berkembang, kesahihan sebuah pemikiran bisa diuji. Buku Roosa itu, misalnya, mencoba mengisi sejumlah "lubang" dalam periode sejarah kita mengenai tudingan terjadinya pembantaian ribuan, bahkan
ada yang bilang ratusan ribu, orang yang dituduh terlibat PKI. Belum tentu tesis Roosa benar. Justru karena itu, dengan membiarkan publik membaca tesis Roosa, mereka yang punya data pembanding bisa membuat tesis tandingan. Tak kalah unik , peredaran buku Membongkar Gurita Cikeas. Memang Kejaksaan Agung belum mengeluarkan larangan buku ini. Coba anda cari ditoko buku Gramedia atau toko buku lainnya dipastikan
tidak ada. Padahal saat peluncuran buku dilakukan di Gramedia Yogyakarta. Konon, cara menghentikan peredaran buku dengan memborong sejumlah stock buku pada distributor disertai sisipan intimidasi.

Tentunya terbuka lebar penyelesaian secara hukum jika sebuah buku memicu masalah gawat. Misalnya bila buku itu mencela orang lain atau mencela keyakinan seseorang. Mereka yang dirugikan bisa menggugat penulis buku itu, namun peredaran buku tersebut pun hanya bisa ditarik atau dilarang atas putusan pengadilan setelah melalui berbagai
prosedur pembuktian.

Agar mekanisme pelarangan buku melalui pengadilan bekerja, ada langkah penting yang harus terlebih dulu dilakukan. Hak Kejaksaan Agung mengeluarkan pelarangan peredaran atas sebuah buku harus dicabut lebih dulu. Penilaian sepihak oleh Kejaksaan, itu pun belum tentu dilakukan oleh mereka yang kompeten.

Ketahuilah, kita mengetahui masa silam dari literasi yang dibaca. Telpon dan listrik yang kita nikmati bagai bagian dari jantung kehidupan. Ia ada bukan karena lampu aladin. Bila diusap serta merta ada. Telpon dan listrik adalah rupa kreasi manusia yang diturunkan dari generasi kegenerasi berikutnya. Nol tahun sejarah Indonesia dimulai saat ditemukannya prasasti Kutai Kertanegara dari raja Purnawarman pada tahun 400 M. Sebelum tahun itu, Indonesia adalah prasejarah zaman yang belum beradab. Sejak tahun 400 M Indonesia mencipta menuju peradaban manusia Indonesia.

Sejarah Majapahit terpendam. Kenapa Majapahit yang berdiri di abad ke-13 kini tak bersisa, sedangkan Cordoba dan masjidnya, yang mulai dibangun kerajaan Islam di Spanyol di abad ke-8, masih bisa utuh? Kenapa Majapahit, yang kurang-lebih seumur Cambridge University diInggris, kini hanya bekas yang terserak dan tersembunyi? Mungkinperang telah merusak semuanya, hingga kota itu ditinggalkan dan pelan-pelan rubuh. Mungkin iklim merapuhkan bahan-bahan yang membentuknya. Mungkin gempa atau wabah. Tidak atau belum ada penjelasan. Tapi bahwa ia tak mampu bertahan terus (sebuah kronologi Jawa menyebutnya ”sirna ilang”) menunjukkan sebuah kelemahan dasar: di kota itu tampaknya tak ada kekayaan sosial—dalam bentuk harta dan pemikiran—yang secara kontinu bisa merawat, merenovasi, dan merekonstruksi diri. Kesadaran ini semestinya membuka kita pada kekeliruan. Bila di permukaan manusia tampak cukup ideal dengan produk-produk kulturalnya (seperti UU, sistem, buku, demokrasi dsb),tapi di lapisan makna berikutnya kita mendapati manusia yang sama,
yang ternyata menjadi pengkhianat dan perusak produk kultural tersebut.

Akan jadi mencemaskan bila pola yang sama ternyata tidak berhenti di kalangan elit atau pengambil kebijakan -yang dipercaya dan mendapat fasilitas rakyat- tapi juga berlangsung di berbagai lembaga secara horisontal maupun vertikal. Di tempat-tempat yang bisa jadi kita menemukan diri kita sendiri ada di situ sebagai pelakunya. Kemungkinan jawabannya bukan berbentuk multiple choice. Yang tersedia pertanyaan
tanpa jawaban. Bila buku dengan beragam dalih dilarang, kemana kita mencari jawaban dari pertanyaan kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar